Sebagai umat muslim, kita sudah lama mengenal kata qada dan qadar. Qada dan qadar merupakan rukun iman yang ke 6. Setiap orang muslim wajib meyakini adanya qada dan qadar Allah Swt. Mengimani qada dan qadar berarti meyakini bahwa segala sesuatu nasib baik dan buruk yang menimpa manusia sudah diatur dengan batasan-batasan tertentu. Umat manusia tidak dapat mengetahui qada dan qadar sebelum peristiwa itu terjadi.
Iman kepada Qada dan Qadar berarti percaya serta meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt memiliki kehendak, ketetapan, keputusan atas semua makhluk-Nya. Pembahasan tentang Qada dan Qadar bagaikan menyelami lautan yang tak bertepi, permasalahan tentang takdir ini telah menjadi pembahasan sejak zaman klasik hingga kontemporer.
Qada dan qadar sering dikenal sebagai ungkapan lain dari kata “takdir.” Takdir merupakan suatu yang berkaitan dengan kehidupan itu sendiri. Hukum dari takdir bersinggungan dengan sebab dan akibat yang saling mempengaruhi terhadap hasil takdir.
Qada secara bahasa bermakna ketetapan, keputusan, pelaksanaan. Pengertian secara etimologinya menjelaskan bahwa qada merupakan suatu ketetapan, keputusan, pelaksanaan atas umat manusia yang telah di tetapkan oleh Allah pada zaman hanya ada Tuhan dengan penciptaan sebelum dimulai.
Qadar secara bahasa bermakna sebagai ukuran atau pertimbangan. Secara etimologi menjelaskan bahwa qadar merupakan suatu ketetapan Allah berdasarkan ukuran pada setiap diri umat manusia sesuai kehendak-Nya pada zaman azali. Makna secara luas dari qadar yaitu bahwa qadar merupakan gambaran kepastian mengenai hukum Allah.
Dengan kata lain, maksud kalimat diatas adalah perbedaan qada dan qadar terletak pada ketetapan Allah. Qada adalah ketetapan kelak kita akan menjadi apa, sedangkan qadar adalah realisasi Allah atas qada terhadap diri kita sesuai kehendak-Nya.
Dalam hakikatnya, tidak ada sebuah peristiwa yang menimpa kita merupakan sebuah kebetulan karena semua sudah menjadi qada dan qadar-Nya. Keterangan mengenai qodo dan qadar tersebut dijelaskan dalam firman Allah berikut:
مَاأَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى اْلأَرْضِ وَلاَ فِى اَنْفُسِكُمْ اِلاَّ فِى كِتَبٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ نَبْرَأَهَا
Artinya:“Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat dalam kitab (Lauh Mahfudh) dahulu sebelum kejadiannya.” (Q.S. Al-Hadid: 22)
وَكُلُّ شَىْءٍ عِنْدَهُ بِمَقْدَارٍ
Artinya:“Dan segala sesuatu, bagi Tuhan telah ada hinggaannya (jangkanya).” (Ar-Rad:8)
وَالَّذِى قَدَّرَ فَهَدَى
Artinya:“Dan (Tuhanmu) yang telah menentukan, kemudian menunjukkan.” (Al-A’la: 3)
Meskipun pada hakikatnya qada dan qadar manusia ditentukan oleh Allah, manusialah yang menjadi penentu dalam takdirnya sendiri. Allah memberi kesempatan kepada hamba-Nya untuk berikhtiar sehingga dapat mendorong seorang hamba memaksimalkan potensi yang telah Allah anugerahkan. Kemudian manusia dianjurkan untuk senantiasa berdoa kepada Allah sambil tetap bersandar kepada segala ketetapan Allah.
Takdir itu tidak akan terlepas dari empat hal:
- Al-‘ilm, segala sesuatu yang disebut takdir itu adalah segala perbuatan manusia atau makhluk-Nya berdasarkan ilmu Allah, Allah tahu segala yang terjadi.
- Al-kitabah, semua yang terjadi itu telah ada catatannya di Lauhul Mahfudz.
- Al-masya, apa-apa yang telah terjadi itu karena masya atau kehendak Allah.
- Al-khalq, sesuatu yang diciptakan.
Hubungan Manusia dengan Takdir
Manusia dan takdir terbagi dua macam:
- Manusia sebagai makhluk mukhayyar, yang berarti ketentuan Allah tetapi manusia dapat ikut berperan dalam menentukan nasibnya dan
- Manusia sebagai makhluk musayyar, yang berarti ketentuan mutlak dari Allah dan manusia tidak dapat merubahnya.
Jadi, artinya mukhayyar itu pilihan, manusia memiliki pilihan atau kebebasan untuk menerima atau menolak sesuatu. Contohnya orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh belum tentu itu takdir dari Allah memang bodoh, sementara dirinya tidak belajar bersungguh-sungguh. Karenanya, pintar dan bodoh itu, kategori mukhayyar.
Ikhtiar manusia sering diidentikkan dengan bentuk usaha yang dilakukan seseorang dalam rangka mencapai apa yang diinginkannya. Pemisalan ini kemudian diaplikasikan dengan kondisi pandemi corona saat ini. pandemi Covid-19 merupakan takdir dalam kategori mukhayyar sehingga kalau ingin mencari takdir yang baik, maka syariatnya di samping berdoa kepada Allah, juga berusaha untuk tetap mengikuti protokol kesehatan.
Karenanya fatwa-fatwa yang dikeluarkan sejak Covid-19 ini banyak menganjurkan ibadahnya di rumah. Tentu pengambilan putusan bahwa ibadah di rumah itu juga salah satu dari ikut andilnya dalam menentukan takdir ini. Inilah yang disebut dengan manusia sebagai mukhayyar, yang berarti bahwa Covid-19 memang ketentuan dari Allah tetapi harus diiringi dengan usaha manusia.
Sumber : muhammadiyah.or.id dan sumber lainnya.
editor: difa