Sebulan penuh umat Muslim menjalankan puasa. Menahan haus, lapar dan juga nafsu dari pagi sampai petang. Di akhir Ramadhan, kita meraih kemenangan dengan merayakan Idul Fitri yang akrab dengan istilah lebaran.
Lebaran menjadi peristiwa penting bagi umat Muslim di Indonesia. Setiap daerah memiliki tradisi sendiri, seperti di Gresik ini ada beberapa tradisi dalam menyambut hari raya yang fitri.
Menurut sejarahwan Gresik, Dr. Mustakim, S.S., M.Si banyak tradisi yang dirayakan oleh warga. Pertama, tradisi kolak ayam Gumeno yang dilaksanakan pada malam 23 ramadhan. Tujuan dilaksanakan tradisi ini adalah sebagai wujud rasa syukur kepada Sunan Dalem dan mengenang syiar Islami di daerah tersebut.
Tradisi kolak ayam menjadi identitas warga setempat. Mereka, utamanya para lelaki yang melakukan gotong royong untuk membuat kolak ayam. Tradisi ini juga membuat roda ekonomi di daerah ini terus memutar. Masyarakat dari berbagai penjuru kota berduyun-duyun ke Gumeno, Gresik untuk menikmati kedahsyatan rasa kolak ayam.
Kedua, tradisi Malam Selawe. Di lakukan untuk mendapat keberkahan lailatul qadr yang diyakini turun pada Malam Selawe Ramadan. Tradisi ini dilakukan pertama kali oleh Sunan Giri dengan para santrinya sebelum mereka kembali ke kampung halaman untuk merayakan lebaran. Tradisi turun temurun ini tetap dilaksanakan hingga sekarang.
Tradisi ketiga, yaitu tradisi lelang bandeng. Bertempat di sepanjang Jalan Sindujoyo, Pasar Gresik. Kegiatan ini awalnya untuk memenuhi kebutuhan akan lauk pauk santri Sunan Giri. Tradisi ini terjaga dan turun temurun hingga sekarang. Selain sebagai wujud syukur karena telah melaksanakan puasa Ramadan, tradisi ini juga wujud dari ekspresi diri warga gresik atas kepiawaian dan keberhasilannya memelihara bandeng.
Tradisi ini sudah melekat dan merupakan hal wajib yang harus dijalankan. Namun perlu diingat, bahwa kita masih dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk berkumpul di kerumunan.
“Tahun lalu, tradisi sebelum lebaran ini, tidak digelar sebab ada pandemi. Jika di gelar embali, akan menggunakan protokol kesehatan,” ungkap Mustaqim yang telah menulis 28 karya buku sejarah ini.
Berbagai macam perayaan tersebut merupakan bentuk syukur umat Muslim telah menang melawan nafsu dari dalam diri. Idul fitri bagi kalangan umat Muslim, juga sering dimaknai sebagai “Hai Raya Fithrah” yakni menepati jiwa yang suci.
Menurut Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Dr. K.H. Haedar Nashir, M.Si, Idul Fitri bermakna ‘Hari Raya Berbuka Puasa’. Setelah berpuasa di bulan Ramadhan, maka pada 1 Syawwal semua yang dilarang menjadi halal kembali. Kita diperbolehkan makan, minum dan pemenuhan kebutuhan biologis lainnya. Kendati dihalalkan, sebaiknya pemenuhan kebetuhan tersebut dilakukan secara baik, tidak berlebihan. Sebab, apalah artinya berpuasa manakala tidak melahirkan perubahan perilaku yang terkendali sebagaimana firman Allah :
يَـٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٍ۬ وَڪُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُ ۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ -٣١
Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Qs. Al-‘Araf:31).
Berbeda dengan anggapan yang beredar di masyarakat bahwa idhul fitri berarti kembali suci. Memang, jika diketahui lebih lanjut dari hadist yang ada, bahwa saat idhul fitri banyak orang menjadi suci Kembali setelah mendapatkan ampunan Allah Swt. Namun, tidak pula sampai menjadikan arti idhul fitri yang berarti “hari raya berbuka puasa” menjadi “Kembali suci.”
Kemenangan sejati atau hal yang seharusnya kita dapat setelah menjalani puasa Ramadhan, yaitu kemenangan dari hawa nafsu.
Menurut Mustaqim yang diwawancarai Matahati (07/04/2021) kemenangan sejati adalah kemenangan saat mengalahkan diri sendiri. Sebuah musuh terbesar adalah hawa nafsu yang bersemayam di dalam diri. Idul fitri adalah sebuah kemenangan karena manusia menundukkan dan mendewasakan nafsunya selama Ramadan.
Lalu hakekat hari Raya dalam Islam bukanlah yang memakai baju baru, tetapi mereka yang mendapatkan ketaatan/ketawaan setelah menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan.’
Allah Swt memberikan sikap taat dan takwa, ketika kita benar – benar menjalankan ibdah puasa dengan ikhlas. Tidak ujuk – ujuk semua orang akan mendapatkannya. Tentu, kita perlu flashback apakah ibadah puasa kita sudah diterima oleh Allah Swt atau tidak?
Kembali lagi kepada tradisi masyarakat di Indonesia, yaitu tradisi saling maaf memaafkan, THR, halal bihalal, dan ketupat. Bagaimana seharusnya kita menanggapi hal ini? oleh karena itu kita perlu untuk memahami sejarah mengapa sesuatu itu ada dengan akal. Lalu, disambungkan dengan apakah di agama diperbolehkan.
Dilansir dari suaramuhammadiyah.id, halal bihalal, dari kata halla, yahillu, bisa bermakna singgah, melepaskan, mengampumi. Acara ini dimaknai sebagai ajang untuk saling singgah, menjalin keakraban, melepas amarah, dan saling mengampuni.
Lalu ketupat sebagai symbol “maaf” bagi masyarakat jawa, sebab ketupat dari istilah jawa yaitu “ngaku lepat” mengakui kesalahan. Momentum idhul fitri ini adalah untuk bersilaturrahim, slaing memaafkan, dan memperkuat persaudaraan.
Menurut Mustaqim, ketiga tradisi tersebut merupakan kebiasaan turun temurun yang bernilai sejarah, menjadi kearifan lokal yang bernilai religius dan budaya, serta menjadi identitas daerah yang bernilai ekonomi dan sosial.
Ketiga tradisi di atas tidak tiba tiba ada. Terapi ada filosofi dan sejarah yang melatarbelakangi. Hal yang paling esensial dari tradisi tersebut adalah manifestasi rasa syukur kepada Allah Swt. Kemudian nilai nilai yang lain seperti ekonomi, sosial, budaya mengikutinya.
Pada saat idul fitri tiba, masyakat melakukan shalat id berjamaah dilanjutkan dengan halal-bihalan, saling berkunjung ke rumah keluarga dan sahabat.
Pada akhirnya, kita perlu Kembali memaknai apa sebenarnya idhul fitri itu. Tradisi di masyarakat perlu dilestarikan dengan tujuan sebagai bentuk bersyukur kepada Allah Swt, tanpa melenceng atau jauh dari ajaran islam. Dan juga tidak berlebihan dalam menjalaninya. (df|Liesna).
*Dari berbagai sumber